Nawang, itulah namanya.
Seorang gadis muda cantik jelita, bertubuh langsing, dan memesona. Namun, ia
mempunyai tabiat yang buruk. Jika ia berkata seringkali merendahkan dan
menyakiti. Nawang bukanlah gadis yang ramah dan murah senyum, selain itu ia
adalah gadis pemalas. Kerjaannya hanya bersolek di depan cermin mengagumi
keindahan wajah dan tubuhnya. Ibunya hanya mampu menggelengkan kepala. Ia tidak
berani memarahi Nawang, karena pasti Nawang akan marah. Ayah Nawang sangat
memanjakannya. Ayahnya adalah seorang saudagar yang memang jarang di rumah.
Itulah sebabnya ia tidak mengetahui tabiat buruk anaknya, yang ia tahu Nawang
adalah gadis manja yang manis. Sepulang dari berdagang, ayahnya selalu
membelikannya perhiasan dan baju-baju yang indah.
Kecantikan Nawang banyak memikat laki-laki di kampungnya, mereka ingin
meminangnya. Tapi karena mereka tidak cukup kaya, Nawang menolaknya secara
kasar. Banyak lelaki yang merasa patah hati bahkan menaruh dendam padanya.
Hingga suatu ketika Nawang harus berhadapan dengan anak seorang dukun sakti
bernama Tole. Ia berwajah tidak tampan, namun ia sebenarnya baik hati.
Pada suatu hari ayahnya mengajak Tole untuk melamar
Nawang ke rumahnya. Di sana, mereka disambut hangat oleh sang saudagar dan
istrinya. Mereka mengeluarkan seluruh makanan yang ada di rumah mereka dan
menjamu tamu tersebut dengan berbagai minuman dari sari buah-buahan. Dukun
tersebut nampak senang dan terkesan. Namun, Nawang tak kunjung muncul. Ia
menolak untuk keluar dan sekedar menyiapkan jamuan.
“Aku enggan biyung jika harus melihat anak dukun itu.
Mukanya saja membuat aku muak”, ujar Nawang sambil menyisir rambutnya.
“Hussh..jangan kencang-kencang, setidaknya temui mereka, dan bersikap haluslah.
Jika memang kamu tidak suka bicaralah dengan baik-baik.”, ucap sang ibu.
“Baiklah… Aku akan bersikap sangaaat manis” ucap Nawang. Ibunya mengernyitkan
dahi merasa akan ada hal aneh yang bakal terjadi.
Benarlah Nawang keluar kamar dan menghina Tole dan
ayahnya. Ia sampai-sampai membanting pemberian mereka. Ayah Tole berusaha
bersabar namun ia tidak tahan mendengar cacian Nawang. Lantas ia bangkit dan
memegang tongkatnya ke atas.
“Demi kekuatan yang ada di muka bumi ini, kamu… Nawang
tidak akan pernah mendapatkan seorang pendamping dalam hidupmu. Tubuhmu akan
membengkak. Setiap nasi yang engkau makan akan menambah tumpukan daging di
tubuhmu.”, ujar sang dukun itu marah dan lekas meninggalkan tempat itu. Nawang
sempat merasa ketakutan. Namun setelah satu hari, dua hari, tiga hari, dia
baik-baik saja.
Hingga seminggu setelah peristiwa itu berakhir. Ia pergi
ke sungai untuk membersihkan dirinya. Di sana terasa panas menyengat kulit
kuning langsatnya. Ia segera berteduh di bawah pohon pisang. Tiba-tiba seorang
kakek datang, duduk tidak jauh dari tempatnya duduk. Ia membawa bekal.
Nampaknya ia kelelahan sehabis mengolah sawah. Ia membawa sebungkus nasi yang
dibalut daun pisang. Lauk ikan dan sambal tercium harum berbaur dengan nasi
putih hangat yang harum. Ia juga membawa sepoci air yang segar. Nawang merasa
lapar dan haus. Tapi ia merasa malu untuk meminta pada kakek tua itu. Tiba-tiba
saja kakek tua itu beranjak, lari terbirit-birit ke arah sungai.
“Kesempatan. Kakek tua itu pasti akan lama.”, ujar
Nawang. Ia segera bergegas mengambil nasi dan minum kakek itu. Ia memakan nasi
itu dengan lahapnya. Setelah puas menikmati makan siangnya itu. Nawang tertidur
pulas di bawah pohon pisang. Entah berapa lama, Nawang merasa kekenyangan.
Tiba-tiba ia mendengar beberapa anak membangunkannya.
“Ndut.. Gendut.. bangun! Kita mau ambil daun pisangnya. Minggir Ndut?” Nawang
merasa terganggu. “Kalian bilang aku gendut? Enak saja. Badanku langsing begini
kalian bilang gendut?” Anak-anak tersebut malah tertawa terpingkal-pingkal dan
menggelengkan kepala seraya meninggalkan Nawang yang marah.
Nawang merasa ada yang aneh pada tubuhnya. Ketika ia
memegang pingganya, ia merasa ia memegang bantal yang terlalu tebal isinya. Ia
melihat sekeliling tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia segera menuju
sungai dan melihat dirinya melalui pantulan air. Betapa terkejutnya dirinya
melihat bayangan itu.
Ia berteriak sejadi-jadinya. Ia hanya melihat
wajah yang dipenuhi pipi. Hidungnya yang mancung tidak lagi terlihat terdesak
pipinya yang sangat tebal. Matanya yang lebar menyipit di bagian kelopaknya.
Bibirnya yang tipis menjadi menebal dan menonjol karena desakan dagu dan
pipinya. Lehernya? Ia tidak mampu merasakan di mana lehernya lagi. Semuanya
tertumpuk daging. Ia segera berlari menuju rumahnya. Tapi langkahnya sangat
berat ditambah cuaca yang panas. Akhirnya ia terjerembab di tengah kebun.
Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Tunggu postingan selanjutnya ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar