Sabtu, 28 Desember 2013

Kisah Gadis Bertubuh Gemuk dan Pangeran Tampan

        Nawang, itulah namanya. Seorang gadis muda cantik jelita, bertubuh langsing, dan memesona. Namun, ia mempunyai tabiat yang buruk. Jika ia berkata seringkali merendahkan dan menyakiti. Nawang bukanlah gadis yang ramah dan murah senyum, selain itu ia adalah gadis pemalas. Kerjaannya hanya bersolek di depan cermin mengagumi keindahan wajah dan tubuhnya. Ibunya hanya mampu menggelengkan kepala. Ia tidak berani memarahi Nawang, karena pasti Nawang akan marah. Ayah Nawang sangat memanjakannya. Ayahnya adalah seorang saudagar yang memang jarang di rumah. Itulah sebabnya ia tidak mengetahui tabiat buruk anaknya, yang ia tahu Nawang adalah gadis manja yang manis. Sepulang dari berdagang, ayahnya selalu membelikannya perhiasan dan baju-baju yang indah.
    Kecantikan Nawang banyak memikat  laki-laki di kampungnya, mereka ingin meminangnya. Tapi karena mereka tidak cukup kaya, Nawang menolaknya secara kasar. Banyak lelaki yang merasa patah hati bahkan menaruh dendam padanya. Hingga suatu ketika Nawang harus berhadapan dengan anak seorang dukun sakti bernama Tole. Ia berwajah tidak tampan, namun ia sebenarnya baik hati.
            Pada suatu hari ayahnya mengajak Tole untuk melamar Nawang ke rumahnya. Di sana, mereka disambut hangat oleh sang saudagar dan istrinya. Mereka mengeluarkan seluruh makanan yang ada di rumah mereka dan menjamu tamu tersebut dengan berbagai minuman dari sari buah-buahan. Dukun tersebut nampak senang dan terkesan. Namun, Nawang tak kunjung muncul. Ia menolak untuk keluar dan sekedar menyiapkan jamuan.
            “Aku enggan biyung jika harus melihat anak dukun itu. Mukanya saja membuat aku muak”, ujar Nawang sambil menyisir rambutnya. “Hussh..jangan kencang-kencang, setidaknya temui mereka, dan bersikap haluslah. Jika memang kamu tidak suka bicaralah dengan baik-baik.”, ucap sang ibu. “Baiklah… Aku akan bersikap sangaaat manis” ucap Nawang. Ibunya mengernyitkan dahi merasa akan ada hal aneh yang bakal terjadi.
            Benarlah Nawang keluar kamar dan menghina Tole dan ayahnya. Ia sampai-sampai membanting pemberian mereka. Ayah Tole berusaha bersabar namun ia tidak tahan mendengar cacian Nawang. Lantas ia bangkit dan memegang tongkatnya ke atas.
            “Demi kekuatan yang ada di muka bumi ini, kamu… Nawang tidak akan pernah mendapatkan seorang pendamping dalam hidupmu. Tubuhmu akan membengkak. Setiap nasi yang engkau makan akan menambah tumpukan daging di tubuhmu.”, ujar sang dukun itu marah dan lekas meninggalkan tempat itu. Nawang sempat merasa ketakutan. Namun setelah satu hari, dua hari, tiga hari, dia baik-baik saja.
            Hingga seminggu setelah peristiwa itu berakhir. Ia pergi ke sungai untuk membersihkan dirinya. Di sana terasa panas menyengat kulit kuning langsatnya. Ia segera berteduh di bawah pohon pisang. Tiba-tiba seorang kakek datang, duduk tidak jauh dari tempatnya duduk. Ia membawa bekal. Nampaknya ia kelelahan sehabis mengolah sawah. Ia membawa sebungkus nasi yang dibalut daun pisang. Lauk ikan dan sambal tercium harum berbaur dengan nasi putih hangat yang harum. Ia juga membawa sepoci air yang segar. Nawang merasa lapar dan haus. Tapi ia merasa malu untuk meminta pada kakek tua itu. Tiba-tiba saja kakek tua itu beranjak, lari terbirit-birit ke arah sungai.
            “Kesempatan. Kakek tua itu pasti akan lama.”, ujar Nawang. Ia segera bergegas mengambil nasi dan minum kakek itu. Ia memakan nasi itu dengan lahapnya. Setelah puas menikmati makan siangnya itu. Nawang tertidur pulas di bawah pohon pisang. Entah berapa lama, Nawang merasa kekenyangan.
            Tiba-tiba ia mendengar beberapa anak membangunkannya. “Ndut.. Gendut.. bangun! Kita mau ambil daun pisangnya. Minggir Ndut?” Nawang merasa terganggu. “Kalian bilang aku gendut? Enak saja. Badanku langsing begini kalian bilang gendut?” Anak-anak tersebut malah tertawa terpingkal-pingkal dan menggelengkan kepala seraya meninggalkan Nawang yang marah.
            Nawang merasa ada yang aneh pada tubuhnya. Ketika ia memegang pingganya, ia merasa ia memegang bantal yang terlalu tebal isinya. Ia melihat sekeliling tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia segera menuju sungai dan melihat dirinya melalui pantulan air. Betapa terkejutnya dirinya melihat bayangan itu.

 Ia berteriak sejadi-jadinya. Ia hanya melihat wajah yang dipenuhi pipi. Hidungnya yang mancung tidak lagi terlihat terdesak pipinya yang sangat tebal. Matanya yang lebar menyipit di bagian kelopaknya. Bibirnya yang tipis menjadi menebal dan menonjol karena desakan dagu dan pipinya. Lehernya? Ia tidak mampu merasakan di mana lehernya lagi. Semuanya tertumpuk daging. Ia segera berlari menuju rumahnya. Tapi langkahnya sangat berat ditambah cuaca yang panas. Akhirnya ia terjerembab di tengah kebun.

Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Tunggu postingan selanjutnya ya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar