Nawang
adalah gadis cantik namun mempunyai tabiat yang sangat buruk. Ia menyakiti hati
seorang dukun dan anaknya yang hendak melamarnya. Hingga si dukun pun
mengutuknya. Seminggu berlalu, semuanya baik-baik saja sampai Nawang mencuri
makanan seorang kakek tua dan dirinya
berubah menjadi sangat gemuk dengan tiba-tiba.
“Nawang,
Nawang…. Sadarlah nak! Ini biyungmu”, suara ibu Nawang khawatir. Nawang
terbangun kebingungan, hendak ia memeluk ibunya. Tiba-tiba ia tersadar bahwa jangan
sampai ibunya mengetahui dirinya telah
menjadi seperti sekarang. Pasti orang kampong akan mengetahuinya dan
menghinanya. Nawang kemudian berkata, “Aaaku
bukan Nawang. Siapa ibu? Bagaimana aku bisa di sini.”
“Apa?
Jangan bercanda Nawang , biyung tahu ini kamu nak. Sudahlah tidak perlu takut.
Kamu akan aman bersama biyungmu ini. Tidak akan ada orang yang tahu dengan
dirimu sekarang. Seorang petani menemukanmu di tengah kebun. Biyung bilang
bahwa biyung tidak tahu siapa kamu. Namun, biyung berkata bahwa biyung akan
mengurus dirimu. Oleh karena itu kamu sampai di rumah.”, ujar ibu Nawang.
Nawang
hendak berkata jujur. Namun perasaan malu dan bersalah membuatnya sedih harus
melihat ibunya menghadapi dirinya yang sangat mengerikan saat ini. Ia tetap
bersandiwara dan memutuskan untuk pergi dari rumahnya.
“Aku
bukan anakmu, bi..emm bu. Aku tersesat di daerah ini. Kalau aku boleh aku ingin
meminta pakaian dan beberapa makanan. Aku sangat lapar.”, ujar Nawang. “Biyung
masih belum mengerti. Tapi baiklah. Biyung ambilkan makanan dan pakaian dulu
ya.”, Ibu Nawang segera menuju ke dalam. Kesempatan ini digunakan Nawang untuk
meninggalkan rumahnya. Diambilnya kain dan selendang miliknya yang ada di
jemuran. Serta singkong yang dibeli ibunya dari pasar. Ia segera bergegas
meninggalkan rumah itu dengan susah payah.
Nawang
amat bersedih. Semua orang yang melihatnya menatapnya dengan penuh penghinaan.
Bahkan beberapa gadis tertawa geli melihatnya kepayahan berlari. “Jadi ini
rasanya menjadi orang yang dihina dan ditetawakan. Sangat menyakitkan.”, pikir
Nawang dalam hati. Air matanya mengucur deras. Ingin rasanya ia kembali ke
rumah. Tapi ia tidak mampu melihat ibunya menanggung penderitaannya. Ia pun
tidak sanggup untuk melihat gadis tetangganya yang selalu ia anggap sebagai
saingannya.
Hari
mulai larut. Nawang berjalan cukup jauh dari kampungnya. Sampailah ia ke hutan.
Tiba-tiba ia berpikir, “Tole dan dukun jahat itu. Benar sekali. Mereka yang
harus bertanggung jawab. Mereka pasti mampu menyembuhkanku. Benar sekali. Aku
tahu rumah mereka. Aku harus segera ke sana. Aku sudah tidak sanggup berjalan
lagi.”
Nawang
terhuyung-huyung begitu mencapai depan rumah si dukun tersebut. Diketuknya
pintu kencang-kencang. Berharap mereka segera keluar. Keluarlah Tole si anak
dukun. Ia sangat terkejut melihat diri Nawang. Ia tidak mengenalinya. Namun
setelah Nawang bersuara, ia mampu mengetahui siapa dirinya.
“Kamu
harus bertanggungjawab. Aku menjadi seperti ini karena ayahmu. Tolong aku.”,
teriak Nawang sembari menangis. “Tenang Nawang. Ceritakan apa yang terjadi.”,
ujar Tole. Nawang lantas menceritakan kejadian tadi pagi.
“Sejak
saat ayahku berkata demikian, aku mencoba untuk menahan dan memintanya untuk
mencabut kutukan itu. Ayahku sempat menolak karena merasa sangat sakit hati.
Namun aku memohonkan untukmu, Nawang. Akhirnya ayahku mencabut kutukan itu.
Tapi ayahku tidak dapat tinggal diam saja atas perlakuanmu. Ia terus
mengintaimu berhari-hari. Hingga tadi pagi ia mengutus jin yang dimilikinya
untuk menyamar sebagai kakek tua dan mengikutimu di sungai. Mungkin jin itu
yang memberikanmu perasaan lapar, lelah, dan panas. Walaupun begitu,
keputusanmu untuk mencuri makanan kakek itu mutlak berada di tanganmu. Makanan
yang kamu makan itu berisi racun yang membuat tubuhmu demikian.”, cerita Tole
panjang lebar.
“Lantas
apa yang harus aku lakukan? Kamu pasti punya penawar racunnya bukan?”, tanya
Nawang dengan putus asa. “Sayang sekali tidak Nawang. Ayahku membuat beberapa
racun yang tidak ada penawarnya. Untuk apalah membuat racun jika nantinya ia
akan menyembuhkan orang yang dibencinya. Itu sangat mustahil Nawang.”, ujar
Tole yang juga nampak iba.
Nawang
hanya terduduk lesu meratapi nasib malangnya. “Tapi kamu masih ada harapan.
Sebelum musim kemarau tiba, kamu harus mencari bunga melati hitam di puncak
bukit Jati. Bunga itu merupakan buruan banyak orang. Jika kamu mempunyai niat
yang tulus dan suci dalam pencarian bunga itu. Kamu pasti akan mendapatkannya.”,
ujar Tole.
“Maukah
engkau menemaniku? Aku sendirian ke sana”, Nawang mulai merasa takut. “Maaf
Nawang. Untuk mendapatkan bunga itu membutuhkan keberanian. Mereka yang datang
berdua, salah satu diantaranya harus mati. Karena dengan adanya dua orang yang
berangkat, niat tidak akan kembali tulus. Mereka pasti akan ingin memiliki
bunga hitam tersebut untuk diri mereka masing-masing. Sedangkan bunga tersebut
hanya ada satu. Pasti akan terjadi pertumpahan darah di sana. Bunga melati
hitam itu tidak akan tumbuh kembali di kedepannya, jika tanahnya telah
tercampur darah manusia. Bunga itu hanya
tumbuh setahun sekali mendekati musim kemarau seperti ini dan hanya satu bunga
saja.”,Tole berujar.
“Baiklah
aku akan pergi sendiri. Terima kasih Tole, ternyata engkau tidak memiliki hati
yang buruk seperti aku.”, ucap Nawang seraya membawa barang bawaannya. Ia
berjalan gontai menuju kea rah bukit Jati. Hari mulai gelap. Nawang hanya
mempunyai sebuah singkong dari rumahnya. Ia lantas berusaha membuat api dari
ranting-ranting. Amat susah. Ia tidak pernah melakukannya sebelumnya. Entah
berapa lama akhirnya api kecil muncul juga. Dibakarnya singkong tersebut. Ia
makan dengan murung. Lagi-lagi ia merasa tubuhnya semakin berat. Nawang pun
berhenti makan. Ia duduk di bawah pohon dan berusaha untuk memejamkan mata.
Berharap malam segera berganti dengan pagi. Ia tidak sabar untuk segera
menemukan bunga melati hitam tersebut.
Ceritanya masih bersambung lagi ya? Pasti akan semakin seru, Nawang akan memulai perjalanan pertama dalam hidupnya. Akankan ia mampu mendapatkan melati hitam tersebut? Tunggu saja di pos berikutnya :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar